Indonesia dikenal sebagai negara agraris, tetapi fakta di lapangan menunjukkan ironi yang mencolok: petani dan peternak kecil terus terjepit, banyak yang bangkrut, dan beberapa bahkan meninggalkan sektor ini sama sekali. Sementara itu, perusahaan besar di bidang pertanian dan peternakan semakin kuat dan menguasai rantai distribusi. Apakah ini sekadar hukum pasar, atau ada skenario yang lebih dalam untuk menyingkirkan para pelaku usaha kecil?
1. Dominasi Perusahaan Besar dan Matinya Kemandirian Petani serta Peternak Kecil
Data dari Sensus Pertanian 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% petani di Indonesia hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare. Dengan skala usaha sekecil ini, mereka sulit mencapai efisiensi ekonomi, apalagi bersaing dengan korporasi yang menguasai lahan luas dengan teknologi canggih.
Di sektor peternakan, situasi serupa terjadi. PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk menguasai 32% pangsa pasar pakan ternak nasional, sementara pemain lain seperti PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk juga memiliki dominasi kuat. Ketika harga pakan naik, peternak kecil tak punya pilihan selain tetap membeli, meskipun itu berarti mereka harus menjual hasil ternak dengan margin keuntungan yang sangat kecil.
Selain itu, industri benih juga dikendalikan oleh perusahaan besar, yang sebagian berafiliasi dengan entitas asing. Benih unggul yang diandalkan petani sering kali hanya bisa dibeli dari segelintir perusahaan besar, sehingga petani semakin tergantung pada mereka. Ketika harga benih naik atau ketersediaannya dikendalikan, petani kecil tidak memiliki alternatif lain.
2. Permainan Harga yang Selalu Menghancurkan Usaha Kecil
Salah satu pola yang paling mencurigakan adalah fluktuasi harga yang sering kali terjadi di waktu yang "tepat". Ketika petani sedang panen raya, harga produk mereka justru anjlok. Namun, ketika mereka tidak memiliki stok, harga di pasar tiba-tiba melonjak. Fenomena ini bukan kebetulan, tetapi sering kali melibatkan rantai distribusi yang dikendalikan oleh segelintir pemain besar.
-
Ketika petani bawang mengalami panen besar, harga bawang putih di tingkat petani bisa jatuh drastis, tetapi harga di pasar tetap tinggi karena adanya stok impor yang masuk di saat bersamaan.
-
Harga ayam di peternak kecil sering kali jatuh hingga di bawah biaya produksi, tetapi di pasar modern harga daging ayam tetap stabil atau bahkan naik.
-
Petani tebu mengeluhkan serbuan gula impor, yang membuat harga gula lokal sulit bersaing.
Fenomena ini menunjukkan kemungkinan adanya permainan harga yang sistematis, di mana petani dan peternak kecil terus-menerus berada di pihak yang dirugikan.
3. Kebijakan Impor: Kebetulan atau Senjata untuk Mematikan Usaha Kecil?
Setiap kali ada lonjakan harga produk pertanian atau peternakan lokal, solusi yang sering diambil pemerintah adalah membuka keran impor. Hal ini memang bisa menekan inflasi, tetapi dalam jangka panjang, impor yang tidak terkendali justru membunuh usaha lokal.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 95% kebutuhan bawang putih nasional dipenuhi dari impor. Demikian pula dengan daging sapi, gula, kedelai, dan beberapa komoditas lain yang seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri.
Menurut laporan WTO (World Trade Organization), banyak negara maju memberikan subsidi besar kepada petani mereka agar bisa mengekspor produk dengan harga murah. Akibatnya, produk impor dari negara-negara ini masuk ke Indonesia dengan harga lebih rendah dari biaya produksi lokal. Ini membuat usaha kecil semakin sulit bersaing dan akhirnya tumbang.
4. Pola Kebangkrutan Usaha Kecil: Bukan Sekadar Gagal Bersaing?
Jika diperhatikan lebih dalam, ada pola yang terus berulang dalam kebangkrutan usaha pertanian dan peternakan kecil:
-
Kenaikan harga input produksi (pakan, benih, pupuk) yang terus meningkat, tetapi harga jual hasil produksi petani dan peternak justru tidak ikut naik.
-
Gagal panen akibat perubahan iklim atau serangan hama yang semakin sulit dikendalikan, di saat yang sama, benih dan pestisida semakin mahal dan sulit didapatkan.
-
Tekanan dari kebijakan impor yang menyebabkan harga produk lokal jatuh.
-
Kurangnya akses ke pasar yang adil, di mana petani dan peternak kecil bergantung pada tengkulak atau distributor besar yang mengendalikan harga.
Jika ini hanya terjadi sekali atau dua kali, mungkin bisa dianggap sebagai faktor kebetulan. Namun, ketika pola ini terus terjadi dari tahun ke tahun, sulit untuk mengabaikan kemungkinan adanya pihak yang diuntungkan dari kehancuran usaha kecil.
5. Apakah Ada yang Sengaja Mematikan Usaha Kecil?
Banyak pihak menduga bahwa kebangkrutan usaha ternak dan pertanian kecil bukan sekadar kegagalan pasar, melainkan bagian dari strategi bisnis global yang disengaja. Beberapa indikasi yang perlu diperhatikan:
-
Dominasi perusahaan besar dalam rantai pasokan, yang membuat petani dan peternak kecil tidak memiliki daya tawar.
-
Kebijakan yang lebih berpihak pada impor, yang menekan daya saing produk lokal.
-
Meningkatnya ketergantungan pada produk pertanian dan peternakan dari luar negeri, yang berisiko melemahkan ketahanan pangan nasional.
Menurut Prof. Bustanul Arifin, seorang pakar ekonomi pertanian dari Universitas Lampung, kebijakan pangan yang tidak berpihak pada petani kecil akan mempercepat alih fungsi lahan dan membuat ketahanan pangan semakin rentan. Ini berarti, jika dibiarkan, kita bisa kehilangan sumber pangan lokal dan semakin tergantung pada pasokan dari luar negeri.
6. Apa yang Bisa Dilakukan?
Jika usaha kecil terus dimatikan, maka masa depan kemandirian pangan Indonesia akan semakin suram. Namun, bukan berarti tidak ada solusi. Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk melawan tren ini antara lain:
-
Membangun koperasi petani dan peternak yang lebih kuat, agar mereka memiliki daya tawar yang lebih tinggi dalam menghadapi distributor besar.
-
Mengembangkan pakan dan benih lokal, agar tidak terlalu bergantung pada korporasi besar.
-
Memperkuat pasar langsung, misalnya dengan menjual produk pertanian dan peternakan melalui platform digital tanpa perantara.
-
Mendorong kebijakan yang lebih berpihak pada petani dan peternak kecil, agar mereka mendapatkan subsidi yang setara dengan yang diberikan negara lain kepada petani mereka.
Kesimpulan: Akankah Usaha Kecil Benar-Benar Dibiarkan Mati?
Meskipun tidak ada bukti langsung yang menunjukkan bahwa ada konspirasi global untuk mematikan usaha ternak dan pertanian kecil, pola yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa mereka memang berada dalam tekanan sistematis. Jika tidak ada langkah nyata untuk memperkuat posisi mereka, maka dalam beberapa tahun ke depan, kita mungkin hanya akan melihat pertanian dan peternakan yang dikuasai oleh korporasi besar.
Pertanyaannya sekarang: Apakah ini sekadar seleksi alam ekonomi, atau memang ada pihak yang sengaja mengatur agar petani dan peternak kecil tidak lagi memiliki tempat di industri ini?












