Kenyataan Pahit di Dunia Usaha Ternak dan Pertanian
Indonesia dikenal sebagai negara agraris, di mana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan peternakan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa meskipun sektor ini memiliki potensi besar, tingkat kegagalannya juga sangat tinggi. Banyak pelaku usaha ternak dan pertanian yang terpaksa gulung tikar dalam waktu singkat.
Jika kita menelusuri berbagai laporan dan riset, ditemukan bahwa sebagian besar usaha ternak dan pertanian skala kecil menghadapi kesulitan dalam bertahan lebih dari tiga tahun. Salah satu riset yang pernah dilakukan oleh berbagai lembaga menunjukkan bahwa lebih dari 80% petani dan peternak mengalami stagnasi atau kebangkrutan dalam beberapa tahun pertama operasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa hanya segelintir pelaku usaha yang berhasil bertahan dan berkembang, sementara mayoritas lainnya terpaksa menyerah?
Artikel ini akan mengungkap berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan besar-besaran di sektor ini, serta membedah strategi yang digunakan oleh segelintir pelaku usaha yang mampu bertahan dan bahkan berkembang menjadi usaha yang lebih besar.
Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Usaha Ternak dan Pertanian
Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia usaha, termasuk di sektor peternakan dan pertanian, penuh dengan tantangan. Namun, ada beberapa faktor utama yang secara konsisten menjadi penyebab utama kegagalan di sektor ini.
1. Skala Usaha yang Kecil dan Modal Terbatas
Sebagian besar petani dan peternak di Indonesia mengelola usaha dalam skala kecil dengan modal yang sangat terbatas. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan dalam melakukan ekspansi, meningkatkan efisiensi, atau menghadapi fluktuasi harga pasar.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 90% petani di Indonesia adalah petani kecil dengan luas lahan kurang dari 2 hektar. Dengan lahan terbatas, otomatis produktivitas dan kapasitas usaha mereka juga terbatas. Dalam peternakan, skala usaha kecil sering kali berarti keterbatasan dalam pakan, fasilitas kandang, hingga akses ke pasar yang lebih luas.
Petani kecil sering kali tidak memiliki daya tawar dalam rantai distribusi. Mereka harus menjual produk mereka ke tengkulak atau pasar lokal dengan harga yang sangat rendah, sementara biaya produksi terus meningkat. Ini menciptakan tekanan finansial yang besar dan mempersulit usaha untuk bertahan.
2. Teknologi yang Ketinggalan Zaman dan Rendahnya Akses terhadap Informasi
Kemajuan teknologi di sektor pertanian dan peternakan berkembang pesat, dari teknik hidroponik hingga sistem peternakan berbasis Internet of Things (IoT). Namun, sayangnya, sebagian besar pelaku usaha di Indonesia masih menggunakan metode tradisional.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan bahwa lebih dari 70% petani masih menggunakan teknik tradisional yang kurang efisien, padahal teknologi modern dapat meningkatkan produktivitas hingga 40% lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak usaha tani yang belum memanfaatkan teknologi secara maksimal.
Selain itu, banyak petani dan peternak di daerah pedesaan kesulitan mengakses informasi terkait teknik pertanian yang lebih baik, harga pasar terkini, atau peluang bisnis yang lebih menguntungkan. Kurangnya akses terhadap informasi ini memperburuk kondisi mereka dan membuat mereka semakin tertinggal.
3. Permasalahan Manajemen dan Kewirausahaan yang Lemah
Sebagian besar petani dan peternak di Indonesia bukanlah wirausahawan sejati. Mereka lebih banyak menjalankan usaha berdasarkan pengalaman turun-temurun tanpa pemahaman yang cukup tentang manajemen usaha.
Menurut studi yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian, sekitar 80% usaha peternakan dan pertanian di Indonesia tidak memiliki perencanaan bisnis yang jelas. Mereka sering kali tidak mencatat pemasukan dan pengeluaran secara sistematis, tidak memiliki strategi pemasaran yang jelas, serta tidak memahami manajemen risiko.
Kesalahan dalam pengelolaan usaha ini sering kali berakibat fatal. Banyak peternak misalnya, yang mengalami kerugian besar akibat salah menghitung kebutuhan pakan atau salah memilih jenis hewan ternak yang sesuai dengan pasar.
4. Harga yang Tidak Stabil dan Ketergantungan pada Tengkulak
Fluktuasi harga menjadi tantangan besar bagi petani dan peternak. Harga komoditas pertanian seperti beras, cabai, dan bawang sering kali mengalami lonjakan drastis yang sulit diprediksi. Begitu juga dengan harga produk peternakan seperti daging dan telur.
Dalam banyak kasus, petani dan peternak tidak memiliki pilihan selain menjual hasil panen mereka kepada tengkulak dengan harga murah. Lebih dari 60% petani di Indonesia masih bergantung pada tengkulak karena tidak memiliki akses langsung ke pasar atau koperasi yang dapat memberikan harga lebih baik.
Akibatnya, keuntungan yang mereka dapatkan sangat kecil, bahkan tidak cukup untuk menutupi biaya produksi. Hal inilah yang menjadi penyebab banyak usaha pertanian dan peternakan akhirnya gulung tikar.
5. Perubahan Iklim dan Risiko Bencana Alam
Indonesia adalah negara yang rawan terhadap bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Perubahan iklim juga memperburuk kondisi ini dengan pola cuaca yang semakin tidak menentu.
Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, pola hujan di Indonesia semakin sulit diprediksi. Kekeringan yang lebih panjang dan hujan ekstrem telah menyebabkan banyak kegagalan panen di berbagai daerah.
Dalam sektor peternakan, perubahan iklim juga berdampak pada produksi pakan ternak. Ketersediaan rumput dan sumber pakan alami semakin berkurang, sehingga biaya produksi meningkat drastis. Jika peternak tidak mampu beradaptasi, usaha mereka akan sulit bertahan.
Mengapa Hanya 10% yang Bertahan?
Di tengah banyaknya tantangan, masih ada segelintir usaha yang mampu bertahan dan bahkan berkembang. Apa rahasia mereka?
1. Menggunakan Teknologi dan Inovasi
Pelaku usaha yang sukses adalah mereka yang berani berinvestasi dalam teknologi. Petani yang menggunakan sistem irigasi modern atau metode pertanian berbasis data cenderung lebih efisien dan memiliki hasil panen lebih tinggi.
Di sektor peternakan, peternak yang mengadopsi teknologi pakan fermentasi atau sistem manajemen ternak digital mampu meningkatkan produktivitas dan menekan biaya operasional.
2. Membangun Kemitraan dan Jaringan yang Kuat
Keberhasilan dalam usaha pertanian dan peternakan tidak bisa dilakukan sendirian. Pelaku usaha yang bertahan adalah mereka yang memiliki jaringan luas, baik dengan koperasi, komunitas petani, maupun perusahaan besar yang dapat menjadi mitra bisnis mereka.
Dengan bergabung dalam koperasi atau kelompok tani, petani dan peternak bisa mendapatkan akses ke harga pasar yang lebih baik, pembiayaan, serta pelatihan yang dapat meningkatkan kapasitas mereka.
3. Menerapkan Manajemen Keuangan yang Baik
Keuangan adalah faktor krusial dalam keberlanjutan sebuah usaha. Mereka yang sukses adalah mereka yang memiliki pencatatan keuangan yang rapi, mampu mengelola modal dengan baik, serta memiliki strategi investasi yang tepat.
Petani dan peternak yang bertahan biasanya adalah mereka yang tidak hanya mengandalkan hasil panen semata, tetapi juga mengembangkan produk turunan, seperti membuat olahan pangan atau menjual bibit unggul.
Kesimpulan: Sukses atau Bangkrut, Pilihan Ada di Tangan Anda
Dunia usaha ternak dan pertanian memang penuh dengan tantangan, tetapi juga memiliki peluang besar bagi mereka yang mampu beradaptasi. Mereka yang sukses bukanlah yang tanpa hambatan, tetapi yang mampu menghadapi tantangan dengan strategi yang tepat.
Bagi para petani dan peternak yang ingin bertahan, kuncinya ada pada inovasi, manajemen yang baik, dan kemauan untuk terus belajar. Tanpa itu, kemungkinan untuk bertahan dalam tiga tahun pertama akan semakin kecil.
Sumber Data Rujukan
Penurunan Jumlah Rumah Tangga Usaha (RTU) Peternakan:Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah RTU peternakan mengalami penurunan lebih dari 30% selama periode 2003-2013, yaitu dari 18,6 juta pada tahun 2003 menjadi 13 juta pada tahun 2013.
media.neliti.com
Kontribusi Sektor Pertanian terhadap Tenaga Kerja:
Berdasarkan data BPS yang disajikan dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2020-2024, sektor pertanian menyerap 24,96% tenaga kerja pada tahun 2020, atau sekitar 35 juta orang dari total angkatan kerja 140,22 juta orang.
bpmsph.ditjenpkh.pertanian.go.id
Ketergantungan pada Impor Pangan:
Indonesia masih mengimpor 29 komoditas pangan, termasuk beras, jagung, kedelai, dan gula pasir. Hal ini menunjukkan tantangan yang dihadapi sektor pertanian dalam memenuhi kebutuhan domestik.
berkas.dpr.go.id
Data di atas menunjukkan tantangan signifikan yang dihadapi sektor ini, seperti penurunan jumlah rumah tangga usaha peternakan dan ketergantungan pada impor pangan. Faktor-faktor tersebut dapat berkontribusi pada tingginya tingkat kegagalan usaha di sektor pertanian dan peternakan.












