Usaha ternak dan pertanian kecil di Indonesia semakin sulit bertahan. Petani gurem yang hanya mengelola lahan kurang dari 0,5 hektare mencapai 17,2 juta orang, atau lebih dari 60% dari total petani di Indonesia. Di sisi lain, industri pakan ternak dikuasai oleh perusahaan raksasa seperti PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (32% pangsa pasar nasional) dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Dengan dominasi semacam ini, harga pakan dan benih tak lagi ditentukan oleh petani dan peternak kecil, melainkan oleh segelintir korporasi besar.
Sementara itu, harga pupuk terus melambung, luas panen padi menurun 2,45% pada 2023, dan kebijakan impor sering kali merugikan petani lokal. Ini bukan sekadar persoalan mekanisme pasar, tetapi ada pola yang terus berulang: setiap kali usaha kecil mulai berkembang, ada kekuatan besar yang menarik rem. Apakah ini murni kegagalan petani dan peternak kecil dalam beradaptasi, atau ada yang sengaja menjaga mereka tetap terpinggirkan?
1. Indonesia: Negara Agraris yang Menekan Petani dan Peternaknya Sendiri?
Indonesia selalu disebut sebagai negara agraris, tetapi ironi terjadi di lapangan. Petani dan peternak kecil justru menjadi kelompok yang paling rentan secara ekonomi.
Laporan dari Sensus Pertanian 2023 menunjukkan bahwa jumlah petani di Indonesia yang memiliki lahan sempit terus meningkat. Sebagian besar dari mereka kesulitan mendapatkan akses ke pupuk bersubsidi yang makin langka, sementara pupuk nonsubsidi dijual dengan harga tinggi.
Dalam industri peternakan, situasinya tak jauh berbeda. Harga pakan yang melonjak membuat biaya produksi meningkat. Padahal, industri ini dikendalikan oleh beberapa perusahaan besar. Tanpa pilihan lain, peternak kecil terpaksa membeli pakan dengan harga yang terus naik.
Impor juga semakin mengancam kelangsungan usaha lokal:
-
Daging ayam dari Brasil masuk dengan harga lebih murah dibanding produksi lokal.
-
Gula impor membanjiri pasar, membuat petani tebu kesulitan menjual hasil panennya.
-
Bawang putih hampir 95% berasal dari impor, padahal Indonesia punya lahan subur untuk menanamnya.
Setiap kali petani dan peternak mulai menikmati sedikit keuntungan, gelombang impor seakan menjadi senjata untuk menekan harga kembali ke titik kritis.
2. Siapa yang Sebenarnya Mengendalikan Industri Pertanian dan Peternakan di Indonesia?
Di balik semua masalah ini, ada segelintir pemain yang mendominasi sektor ini, mulai dari penguasaan pakan ternak, benih, hingga distribusi hasil pertanian dan peternakan.
-
Perusahaan Raksasa Pakan Ternak
-
PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk menguasai 32% pasar pakan nasional.
-
PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk juga memiliki dominasi kuat dalam industri ini.
-
Dengan kendali sebesar ini, harga pakan ternak bisa naik kapan saja, sementara peternak kecil tidak punya pilihan lain selain tetap membeli.
-
-
Benih yang Dikendalikan Korporasi
-
Sebagian besar benih unggul di Indonesia berasal dari perusahaan besar, termasuk yang berafiliasi dengan korporasi asing.
-
Petani kecil sulit mendapatkan benih berkualitas kecuali mereka membelinya dengan harga tinggi.
-
-
Pedagang Besar dan Rantai Distribusi
-
Harga hasil panen petani sering kali jatuh bukan karena kualitas buruk, tetapi karena permainan pedagang besar yang mengendalikan distribusi.
-
Ketika panen raya, harga anjlok, tetapi harga di pasar tetap tinggi karena tengkulak besar menimbun stok dan menjualnya kembali saat harga naik.
-
3. Mengapa Impor Selalu Menjadi Senjata untuk Mematikan Usaha Kecil?
Setiap kali petani dan peternak kecil mulai merasakan keuntungan, impor selalu dijadikan alat untuk menekan harga mereka.
-
Daging sapi impor dari Brasil dan Australia lebih murah dibanding daging lokal, menghancurkan usaha peternak dalam negeri.
-
Beras impor sering kali masuk saat panen raya, menyebabkan harga gabah petani anjlok.
-
Petani bawang putih hampir tak punya peluang bersaing karena 95% pasokan nasional berasal dari impor.
Menurut laporan dari WTO (World Trade Organization), banyak negara maju yang memberikan subsidi besar kepada petani mereka sehingga mereka bisa mengekspor produk pertanian dengan harga sangat murah. Sebaliknya, di Indonesia, petani kecil justru kesulitan mendapatkan dukungan yang cukup dari pemerintah.
4. Adakah Jalan Keluar bagi Petani dan Peternak Kecil di Indonesia?
Jika tidak ada perubahan signifikan, petani dan peternak kecil akan terus berada dalam tekanan dan akhirnya lenyap. Namun, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk melawan dominasi ini.
-
Membangun Koperasi yang Kuat
-
Petani dan peternak kecil harus berhenti bekerja sendiri-sendiri. Dengan membentuk koperasi atau kelompok tani yang solid, mereka bisa membeli bahan baku dengan harga lebih murah dan memiliki daya tawar lebih tinggi.
-
-
Produksi Pakan dan Benih Mandiri
-
Ketergantungan pada pakan dan benih dari perusahaan besar harus dikurangi. Petani dan peternak bisa mulai mengembangkan alternatif pakan sendiri dan membudidayakan benih lokal.
-
-
Memanfaatkan Digitalisasi untuk Menjangkau Pasar Langsung
-
Penjualan langsung ke konsumen melalui media sosial atau marketplace bisa memangkas ketergantungan pada tengkulak dan pedagang besar.
-
-
Mendorong Perubahan Kebijakan Publik
-
Petani dan peternak kecil harus bersuara lebih lantang dalam memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada mereka, bukan hanya menerima keadaan.
-
Kesimpulan: Akankah Petani dan Peternak Kecil Selalu Kalah?
Kenyataannya, sistem yang ada saat ini lebih menguntungkan segelintir pemain besar. Jika tidak ada perubahan signifikan, usaha kecil akan terus menjadi korban permainan harga, regulasi yang tidak adil, dan dominasi korporasi besar.
Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Jika petani dan peternak kecil mulai bergerak bersama, membangun strategi yang lebih cerdas, dan melawan dominasi dengan inovasi, ada peluang untuk bertahan—bahkan menang.
Pertanyaannya sekarang: Akankah kita tetap diam dan menerima keadaan, atau sudah saatnya melawan dan merebut kembali kendali atas pertanian dan peternakan kita sendiri?












