Dunia industri kreatif telah lama menjadi pusat inovasi, tren, dan perubahan budaya. Namun, di balik gemerlapnya fenomena konten viral, muncul pertanyaan yang jarang dibahas secara mendalam: Apakah tren yang kita lihat di media sosial benar-benar murni dari kreativitas organik, atau ada kekuatan tak terlihat yang sengaja mengarahkannya? Lebih jauh lagi, bagaimana fenomena ini mempengaruhi kelangsungan usaha kecil dan menengah (UMKM)?
Dalam beberapa tahun terakhir, pola bisnis yang mencurigakan mulai terungkap. Konten yang tampak sederhana mendadak meledak dan mendominasi pasar, sementara produk-produk lokal yang secara kualitas lebih unggul justru tenggelam. Apakah semua ini hanya kebetulan, atau ada skenario besar yang sedang dimainkan?
Pola Bisnis yang Mencurigakan: Siapa yang Mengendalikan Tren?
Di permukaan, media sosial tampak sebagai platform demokratis di mana siapa saja bisa menjadi terkenal. Namun, realitasnya berbeda. Penelitian dari Harvard Business Review menemukan bahwa hanya segelintir perusahaan media dan agensi digital besar yang mengontrol penyebaran konten viral. Mereka memiliki akses ke algoritma dan strategi distribusi yang memungkinkan mereka mengangkat atau menenggelamkan sebuah tren sesuai kepentingan bisnis mereka.
Fenomena ini disebut sebagai shadow marketing, di mana tren sengaja direkayasa untuk menguntungkan pihak tertentu. Produk yang tiba-tiba viral sering kali berasal dari perusahaan yang memiliki koneksi kuat dengan pemilik platform atau agensi pemasaran raksasa. UMKM, yang tidak memiliki akses ke jaringan eksklusif ini, otomatis tertinggal dalam permainan yang sudah diatur sejak awal.
Sebuah studi dari Journal of Marketing Research mengungkap bahwa lebih dari 80 persen tren viral yang muncul di media sosial sebenarnya didorong oleh kampanye berbayar yang terselubung. Artinya, konten yang tampak seperti fenomena alami sebenarnya merupakan hasil rekayasa terencana yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar.
Bagaimana Tren Palsu Menghancurkan UMKM?
Industri kreatif telah menjadi senjata dua mata bagi pelaku usaha kecil. Di satu sisi, media sosial memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjangkau audiens yang lebih luas tanpa biaya pemasaran yang tinggi. Namun, di sisi lain, tren yang direkayasa justru membuat mereka semakin sulit bertahan.
Misalnya, tren makanan viral yang berganti setiap bulan. Produk tertentu tiba-tiba menjadi sangat populer, menyebabkan permintaan melonjak drastis. Namun, begitu tren ini habis masa pakainya—biasanya hanya dalam hitungan minggu pelaku UMKM yang telah berinvestasi besar-besaran dalam tren tersebut terpaksa menanggung kerugian.
Pola ini telah terjadi berulang kali, mulai dari tren kopi dalgona, croffle, hingga minuman boba. Sementara brand besar dengan modal kuat bisa dengan mudah beradaptasi dan menciptakan tren baru, UMKM terjebak dalam siklus yang tidak berkesudahan. Mereka dipaksa untuk terus mengejar tren yang sebenarnya sudah dirancang untuk gagal dalam waktu singkat.
Penelitian dari Small Business Economics menunjukkan bahwa UMKM yang mencoba mengikuti tren viral sering kali mengalami kerugian finansial karena harus berinvestasi dalam produksi yang meningkat drastis dalam waktu singkat. Ketika tren tersebut tiba-tiba memudar, mereka dibiarkan dengan stok yang tidak terjual dan modal yang terkuras.
Siapa yang Mengendalikan Algoritma?
Pemain besar dalam industri kreatif, seperti perusahaan teknologi dan agensi pemasaran global, memiliki akses langsung ke algoritma media sosial. Mereka dapat dengan mudah mengatur apa yang muncul di beranda pengguna, memprioritaskan konten dari klien mereka, dan mengabaikan konten dari pelaku usaha kecil yang tidak memiliki anggaran besar untuk beriklan.
Pada 2022, seorang mantan karyawan Facebook yang diwawancarai oleh The Wall Street Journal mengungkap bahwa perusahaan besar bisa membayar untuk mendapatkan prioritas algoritma, memastikan bahwa produk mereka selalu muncul di feed pengguna, sementara pesaing kecil dengan anggaran terbatas semakin sulit untuk mendapatkan eksposur.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya influencer marketing yang terkonsentrasi. Sebagian besar influencer besar bekerja sama dengan agensi yang hanya menerima kontrak dari brand yang mampu membayar mahal. Ini membuat UMKM semakin sulit untuk bersaing, karena mereka tidak memiliki akses ke jalur distribusi yang sama.
Rekayasa Tren dan Dominasi Korporasi
Sejarah telah menunjukkan bahwa tren sering kali diciptakan untuk menguntungkan pihak tertentu. Contoh nyata adalah industri fashion, di mana tren musiman sengaja diciptakan oleh brand besar untuk memastikan bahwa konsumen terus membeli produk baru setiap beberapa bulan. Pola serupa kini terjadi di industri kreatif dan bisnis digital.
Dalam buku The Attention Merchants karya Tim Wu, dijelaskan bahwa korporasi besar memiliki metode sistematis untuk menangkap perhatian publik dan mengarahkannya ke produk atau ide tertentu. Ini dilakukan melalui kombinasi manipulasi algoritma, kampanye pemasaran masif, dan pengendalian distribusi informasi.
Jika industri kreatif benar-benar demokratis, seharusnya konten yang berkualitas akan selalu menang. Namun, kenyataannya, konten yang sukses bukanlah yang paling kreatif atau inovatif, melainkan yang didukung oleh modal besar dan strategi distribusi yang telah dirancang dengan matang.
Kesimpulan: Apakah Masih Mungkin Bertahan di Tengah Konspirasi Ini?
Fakta bahwa tren dapat direkayasa untuk menguntungkan pihak tertentu menunjukkan bahwa industri kreatif tidak seindah yang dibayangkan. UMKM yang berharap dapat berkembang secara organik melalui media sosial kini harus menghadapi kenyataan bahwa persaingan telah diatur sejak awal.
Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Ada beberapa langkah yang bisa diambil pelaku UMKM untuk melawan dominasi tren palsu ini:
-
Membangun Komunitas yang Loyal - Fokus pada pelanggan setia yang benar-benar menghargai produk, bukan hanya mereka yang ikut tren sementara.
-
Mengembangkan Brand yang Kuat - Jangan hanya mengikuti tren, tetapi ciptakan identitas bisnis yang unik agar tetap relevan dalam jangka panjang.
-
Mengoptimalkan Strategi SEO dan Pemasaran Organik - Dengan memahami algoritma secara mendalam, UMKM bisa tetap bersaing tanpa harus bergantung pada influencer besar.
-
Bekerja Sama dengan Mikro-Influencer - Influencer kecil sering kali memiliki keterlibatan audiens yang lebih tinggi dan lebih terjangkau bagi pelaku UMKM.
Industri kreatif telah berubah menjadi medan perang di mana hanya mereka yang memahami aturan permainan yang bisa bertahan. Jika UMKM ingin tetap hidup dan berkembang, mereka harus menyadari bahwa tren bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami, melainkan hasil dari strategi bisnis yang sudah dirancang sejak awal.
Kini pertanyaannya, apakah kita masih ingin mengikuti tren yang sengaja diciptakan untuk menguntungkan pihak tertentu, atau sudah saatnya menciptakan jalan sendiri?









.jpg)


